Total Tayangan Halaman

Senin, 15 Oktober 2012

reform agraria


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berbicara tentang Agraria maka kita berbicara tentang hajat hidup orang banyak. Hal ini mengingat agraria merupakan bagian penting bagi pemenuhuan kebutuhan hidup masyarakat termasuk masyarakat Indonesia. Agraria dalam pengertian tanah merupakan sumber utama kehidupan masyarakat Indonesia terutama para petani. Sebagai negara agraris maka kehidupan warga negara sangat bergantung pada tanah di negara tercinta ini. Sebagai gambaran, di Indonesia mata pencaharian warga negara Indonesia yang menjadi petani sebesar 60 %. Tanah sendiri memang memiliki peran penting dalam setiap perkembangan jaman di Indonesia. Namun dalam perjalanan bangsa ini rakyat kecil khususnya petani selalu menjadi pihak yang tertindas, dan terkalahkan oleh pihak yang memiliki kekuasaan.
Pada jaman kerajaan, tanah menjadi simbol status dan alat politik raja, tanah diklaim dan dikuasai oleh para pamong praja dan raja. Sementara itu para petani dicekik dengan harus membayar upeti, sehingga para petani tersebut banyak yang mengalami kelaparan. Ketika memasuki jaman kolonial, para petani dipaksa untuk menanam tanaman ekspor yang dihargai sangat murah dan para petani tersebut dipaksa untuk membayar pajak yang dapat mencekek para kaum tani tersebut sehingga banyak sekali timbul kelaparan dan penyakit busung lapar di negeri ini. Para petani kebingungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kemudian di era kemerdekaan, para petani kembali menjadi pihak yang tertindas dari program Revolusi Hijau yang dicanangkan oleh pemerintah. Terbukti Revolusi Hijau hanya menguntungkan para petani kaya saja, dan para petani miskin yang hanya mempunyai luasan tanah terbatas kembali dalam keadaan terpuruk dan tertindas oleh para petani kaya. Program ini  juga dinilai tidak menjawab kebutuhan rakyat miskin di negeri ini yang dapat menemukan atau menikmati rasa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Namun kehidupan petani yang paling parah setelah masuknya perdagaan bebas (kekuatan neoliberalisme) di Indonesia yang menguntungkan para pemodal melalui kebijakan pemerintah dan peran serta organisasi Internasional seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia. Melalui kekuatan neoliberalisme ini kebijakan-kebijakan pemerintah yang tadinya pro terhadap petani, rakyat dan bangsa Indonesia, kebijakan-kebijakan tersebut beralih keberpihakannya yang tadinya pro rakyat menjadi pro penguasa modal (kapitalis). Hal ini menyebabkan rasa ketidak adilan dan kesejahteraan kemabali dinikmati lagi oleh para kaum melarat di bumi pertiwi ini.
Konflik agraria yang terjadi akhir- akhir ini merupakan persoalan serius bangsa yang perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak khususnya pemerintah.  Masih ingat dalam ingatan kita kasus di Bima, Mesuji, Pulau Padang yang terjadi beberapa waktu lalu.  Namun, selain kasus tersebut, masih ada ratusan kasus konflik agraria lain yang luput dari perhatian kita semua.  Konsorsium Pembaruan Agra­ria (KPA) dalam laporan akhir tahunnya mencatat, tahun 2011 saja terjadi 163 konflik agraria di se­luruh Indonesia yang menewaskan 24 orang  petani dan rakyat yang menggarap lahan (kompas, 31 Desember 2011). Berbagai konflik pertanahan tersebut yang terjadi tersebut, mencuatkan kembali wacana tentang perlunya reformasi agraria demi mencegah terjadinya konflik serupa dimasa depan. Berbagai kalangan menekankan perlunya diselenggarakan reformasi agraria guna menjamin hak-hak rakyat, khususnya petani, terhadap tanah sebagai alat produksi yang paling vital dalam sistem produksi pertanian maupun perladangan. Dalam konteks Indonesia, reformasi agraria menjadi suatu hal yang urgen untuk segera dilakukan.
B.     Kerangka Teori
Reformasi Agraria
Secara etimologis reformasi agraria berasal dari bahasa Spanyol, yang memiliki arti suatu upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa (Jurnal Dialektika LPPMD UNPAD, 2006). Sementara Krishna Ghimire dalam bukunya yang berjudul Land Reform & Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty & Agrarian Reform In Developing Countries (2001), mendefinisikan reformasi agraria atau land reform sebagai perubahan besar dalam struktur agraria, yang membawa peningkatan akses petani miskin pada lahan, serta kepastian penguasaan (tenure) bagi mereka yang menggarap lahan. Termasuk juga akses pada input pertanian, pasar serta jasa-jasa dan kebutuhan pendampingan lainnya.
Menurut Badan Pertanahan Nasional RI makna reformasi agraria adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan, dan pemilikan sumber-sumber agraria, terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat. Apabila makna ini didekomposisikan, terdapat lima komponen mendasar di dalamnya, yaitu:
  1. Resturukturisasi penguasaan asset tanah ke arah penciptaan struktur sosial-ekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity),
  2. Sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasisi keagraraiaan (welfare),
  3. Penggunaan atau pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainnya secara optimal (efficiency),
  4. Keberlanjutan (sustainability), dan
  5. Penyelesaian sengketa tanah (harmony).
Tuma (1965) juga menyimpulkan bahwa “landreform” dalam pengertian luas akhirnya dapat disamakan dengan “agrarian reform” (reforma agraria), yakni suatu upaya untuk mengubah struktur agraria demi terciptanya tujuan sebagaimana disebutkan di atas.
Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa reformasi agraria merupakan suatu perubahan dalam struktur agraria dengan tujuan peningkatan akses kaum tani miskin akan penguasaan tanah melalui redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah. Pada hakekatnya reformasi agraria dilakukan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan kaum tani miskin.  Adapun tujuan dari landreform menurut Michael Lipton adalah:
  1. Menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah. Ini dilakukan melalui usaha yang intensif yaitu dengan redistribusi tanah, untuk mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil yang dapat merupakan usaha untuk memperbaiki persamaan diantara petani secara menyeluruh.
  2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan lahan. Dengan ketersediaan lahan yang dimilikinya sendiri maka petani akan berupaya meningkatkan produktivitasnya terhadap lahan yang diperuntukkan untuk pertanian tersebut, kemudian secara langasung akan mengurangi jumlah petani penggarap yang hanya mengandalkan sistem bagi hasil yang cenderung merugikan para petani.
Ekonom terkemuka dari Bangladesh Rehman Sobhan dalam buku karyanya yang berjudul Agrarian Reform and Social Transformation: Preconditions for Development (1993), melalui hasil analisis program reformasi agraria yang telah berlangung di 36 negara di seluruh dunia, menyampaikan kesimpulannya bahwa bila sebuah negara ingin mewujudkan penghapusan kemiskinan di pedesaan serta mengakselerasikan segala pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternatif lain selain melakukan reformasi agraria yang radikal. Reformasi agraria tersebut akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara merata bagi sebagian besar rakyat yang tak bertanah dan yang kekurangan tanah. Hal itu dengan sendirinya dapat menghapuskan secara total penguasaan tanah yang dominan dari kelas-kelas yang lama (feodal) maupun baru (kapitalis) di pedesaan. Pemerataan penguasaan tanah di pedesaan sebagai hasil dari reformasi agraria akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan warga desa yang pada umumnya petani gurem atau buruh tani. Peningkatan kesejahteraan tersebut akan menimbulkan konsekuensi peningkatan daya beli warga desa. Hal ini akan menjadi pasar potensial bagi produk-produk industri nasional, yang, pada akhirnya, dapat membantu proses industrialisasi nasional sebagai fondasi bagi kemandirian ekonomi bangsa.
Reformasi agraria sendiri memiliki corak yang berbeda pada masing-masing negara. Ada yang bercorak kapitalistik, sebagai buah perombakan sistem produksi feodal menuju terbentuknya pasar bebas pertanahan yang berdasarkan kompetisi modal. Corak semacam ini terjadi di Jepang, Perancis dan Korea. Sementara adapula yang bertipe sosialis, yakni merubah struktur kepemilikan tanah secara radikal dari monopoli segelintir  tuan tanah, pemilik modal maupun kapitalis birokrat menjadi pengelolaan tanah oleh para petani kecil dan tak berlahan secara kolektif dan merata. Dan proses reformasi ini dilakukan secara intensif oleh negara. Hal ini terjadi di Kuba dan Venezuela.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengelolaan sumber Daya Agraria di Indonesia
Pengelolaan tanah dan sumber daya agraria merupakan hal mendasar bagi suatu Negara. Hal ini mengingat pengeloloaan agrarian berkaitan erat denagn kehidupan ekonomi warga negara dan juga isu sosial politik. Konsep pengelolaan sumber daya seringkali menjadi alat kepentingan sosial ekonomi dan politik golongan tertentu. Di Indonesia sendiri pengaturan agrarian tertuang di dalam Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 atau yang lebih kita kenal dengan UUPA Tahun 1960. UUPA sendiri merupakan perwujudan dari pasal 33 UUD 1945. Menurut Undang- undang tersebut penguasaan tanah dan sumber daya agraria berada di tangan negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Namun dalam pelaksanaannya UUPA tersebut seringkali ditafsirkan oleh pemerintah sebagai alat akumulasi keuntungan pribadi dengan dalih pemasukan devisa Negara dan cenderung mengabaikan hak-hak rakyat. Berbagai produk turunan dari UUPA seperti Undang-un­dang No. 41/1999 tentang Kehu­tanan, Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan, Un­dang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air, Undang-undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,  Undang-undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu­bara serta yang terakhir Undang-undang Pengadaan Tanah 2011 adalah sebagian produk perundang-undangan yang diterbitkan guna memperlancar ekpansi pemilik modal untuk menguasai sektor agraria negeri ini. Produksi berbagai aturan perundang-undangan sendiri bila dikaji lebih dalam tidak berpijak pada UUPA itu sendiri sehingga turut berkontribusi pada terjadinya konflik agraria di berbagai daerah.
Pada tahun 2011 hingga 2012 saja misalnya terdapat sekitar 88 kasus terkait perebutan lahan dan tanah. Menurut data BPN hingga 2010 kasus agraria telah mencapai 8.000 kasus, sementara laporan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2011 mencatat 163 konflik yang menyebar seluruh Indonesia. Kasus terbesar dan menyita perhatian publik adalah kasus Mesuji. Kasus yang kemudian menjadi isu nasional arena DPR turut turun tangan guna memediasi konflik. Akar permasalahan yang terjadi baik di Mesuji, Sumatera Selatan maupun daerah lain adalah lahan/tanah. Diakui atau tidak penguasaan lahan/tanah di Indonesia di dominasi oleh para pemilik modal. Disisi lain jumlah petani di Indonesia yang tergolong “petani gurem” terus bertambah tiap tahunnya.  Di Indonesia, terdapat lebih dari 80 persen petani gurem atau petani yang berlahan kurang dari 1 hektar. Lebih dari 50 persen jumlah petani berlahan sempit ini menguasai hanya 21 persen dari keseluruhan lahan pertanian (Husken dan White, 1989). Struktur agraria semacam ini merupakan warisan dari politik agraria kolonial yang masih lestari hingga kini. Terdapat empat hal yang menyebabkan ketidakadilan agraria saat ini adalah:
  1. Adanya struktur yang timpang dalam pengusaan sumber-sumber Agraria sebagai warisan zaman feodal dan zaman kolonial.
  2. Adanya komoditas tanah yang mengebiri nilai-nilai filosofis tanah dan hanya menjadikan tanah sebagai alat investasi belaka.
  3. Adanya kesalahan paradigma pembangunan.
  4. Adanya penindasan berupa intervensi pemodal melalui organisasi Internasional.
Kondisi- kondisi tersebut menyebabkan adanya ketimpangan kesejahteraan yang semakin melebar. Ketimpangan yang terjadi dalam pengusaan alat-alat produksi sehingga menyebabkan proses kemiskinan terhadap petani dan rakyat kecil di Indonesia. Petani yang tidak memiliki akses terhadap sumber agraria semakin jatuh kedalam kemiskinan, sementara itu para penguasa modal semakin mudah untuk memperkaya diri sendiri dan tertawa terbahak-bahak dibalik penderitaan rakyat miskin Indonesia.
UUPA tahun 1960 yang berlaku hingga sekarang sebenarnya merupakan Undang-undang yang dibentuk pada era pemerintahan soekarno untuk mengatasi berbagai permasalahan diatas. Salah satu contoh pasal yang berpihak pada kepentingan kaum tani miskin dalam undang-undang tersebut ialah pasal 13 yang berisi empat ayat dan berbunyi sebagai berikut :
  1. Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
  2. Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agrarian dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
  3. Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
  4. Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial,termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.
Namun dalam pelaksanaannya UUPA tahun 1960 tersebut hanya dijadikan sebuah hiasan, tidak pernah dikaji bahkan dilaksanakan. Padahal UUPA tahun 1960 tersebut dinilai mampu menyelesaikan permasalahan-permasalan konflik agraria yang terjadi saat ini di Negara yang kaya akan Sumber Daya Alamnya. Ada duagaan terdapat kengganan dari pemerintah untuk melaksanakan UUPA tersebut. Terdapat oknum yang dekat dan memiliki akses kekuasaan yang merasa diuntungkan dengan tidak diklaksanakannya UUPA tersebut secara konsisten oleh pemerintah.
B.       Reformasi Agraria, Harus Bagaimana?
Reformasi agrarian merupakan suatu upaya yang harus dilakukan guna menciptakan struktur yang adil dalam pengeloaan sumber daya agraria. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang ilmuan Ekonom terkemuka dari Bangladesh Rehman Sobhan dalam buku karyanya yang berjudul Agrarian Reform and Social Transformation: Preconditions for Development (1993). Dari hasil program reformasi agraria yang telah berlangung di 36 negara di seluruh dunia, dapat disimpulkan bahwa bila sebuah negara ingin mewujudkan penghapusan kemiskinan di pedesaan serta mengakselerasikan segala pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternatif lain selain melakukan reformasi agraria yang radikal. Reformasi agraria tersebut akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara merata bagi sebagian besar rakyat yang tak bertanah dan yang kekurangan tanah. Hal itu dengan sendirinya dapat menghapuskan secara total penguasaan tanah yang dominan dari kelas-kelas yang lama (feodal) maupun baru (kapitalis) di pedesaan.
Kondisi tersebut sebenarnya telah disadari oleh presiden Soekarno waktu itu dengan diterbitkanannya UUPA. Presiden Soekarno dalam sambutannya pada peletakan batu pertama fakultas Pertanian Universitas Indonesia mengatakan pangan adalah hidup dan matinya suatu bangsa. Manajemen pemenuhan kebutuhan pangan rakyat akan membawa kepada kestabilan negara. Di masa orde baru, berbagai kebijakan yang diambil pemerintah cenderung menempatkan pertumbuhan ekonomi nasional sebagai ujung tombak program. Hal itu juga yang terjadi dalam persoalan pertanahan. UUPA 1960 dijalankan tak lagi menyokong kesejahteraan sosial, namun bagaimana aliran modal asing bisa masuk ke Indonesia. lancarnya aliran modal asing tentu membutuhkan syarak kelayakan usaha yang tinggi. Maka dari itu selain dengan menusahakan kestabilan situasi keamanan dan politik, pemerintah berusaha memfasilitasi pemodal asing itu dengan bahan baku dan modal yang murah. Salah satu modal yang dinilai penting adalah tanah. Pemerintah Orde Baru melihat celah kesempatan atas pemberlakuan UUPA 1960 ini guna member ”pelayanan” yang memuaskan bagi asing. UUPA dipelintir sedimikian rupa, tanah rakyat banyak yang kemudian “direbut” pemerintah dengan dalih proyek nasional. Hal itu diperparah dengan paradigma yang berkembang dimasyarakat yang menjadikan tanah sebagai suatu komoditas dagang. Tanah bukan lagi menjadi kesatuan identitas dan jati diri, namun barang yang bisa dengan mudah diperjual-belikan.
Begitu peliknya permasalahan menuntut adanya pembaruan Undang-undang sebagai landasan hukum agrarian untuk menghindari berbagai konflik agrari ayang terjadi. Karena sebagaimana diungkapkan Mochammad Tauhid (1952), “agraria tak lepas dari persoalan tanah dan persoalan hidup dan sumber penghidupan manusia, Perebutan tanah berarti perebutan sumber makanan, perebutan sumber penghidupan bagi manusia. Untuk itu, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya. Itulah yang sebenarnya mendasari konflik agraria di Indonesia ketika tanah-tanah yang luas dikuasai oleh individu atau perusahaan besar, sementara itu jutaan petani kecil tidak memiliki tanah atau lahan.
Tuntutan mengenai reformasi agararia yang berkembang dewasa ini merupakan tuntutan akan adanya pengelolaan sumber daya agraria untuk mewujudkan sistem pengelolaan dan pemanfaatan yang lebih adil. Politik agraria yang dijalankan pemerintahan reformasi dengan haluan kapitalisme liberal  saat ini jelas bertentangan dengan semangat UU PA No.5/1960 yang berlandaskan sosialisme Indonesia yang hakekat dan tujuan sebenarnya dari pelaksanaan reformasi agraria, yakni peningkatan kesejahteraan petani miskin. Cita-cita Reformasi agraria sebagai upaya untuk menjamin pengaturan sumber daya agraria yang adil disebutkan oleh beberapa tokoh seperti Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. Gunawan menyebutkan bahwa reforma agraria harus dilakukan karena merupakan realisasi pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria, Usep Setiawan berpendapat bahwa pelaksanaan reforma agraria harus mendapat dukungan dari seluruh kementerian dan lembaga yang terkait, serta ada tindak lanjutnya oleh pemerintah daerah dan harus melibatkan rakyat dalam pelaksanaannya., rakyat juga dilibatkan.
Dalam konteks peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan rakyat, dapat dikatakan hampir semua negara industri maju telah melakukan reforma agraria sebelum melaksanakan industrialisasinya. Pengalaman pelaksanaan reforma agraria di sejumlah negara Asia (seperti: Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan Cina), Afrika dan Amerika Latin, seperti yang diungkapkan oleh Lin (1974) menunjukkan setidaknya ada 10 (sepuluh) aspek utama yang perlu diurus kelengkapannya oleh penyelenggara negara bila reforma agraria mau berhasil, yakni: (1) Mandat Konstitusional, (2) Hukum Agraria dan Penegakkannya, (3) Organisasi Pelaksana, (4) Sistem Administrasi Agraria, (5) Pengadilan, (6) Desain Rencana dan Evaluasi, (7) Pendidikan dan Latihan, (8) Pembiayaan, (9) Pemerintahan Lokal, dan (10) Partisipasi Organisasi Petani.
 Berbagai negara dinilai sukses menyelenggarakan reformasi agraria dan menciptakan pasar domestik yang potensial adalah Jepang (pasca Restorasi Meiji abad 19),  Korea Selatan (1945-1953), Mesir (pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser), Libya (setelah Kol. Muammar Khadafi berkuasa tahun 1969),  Kuba (pasca revolusi 1959), Cina (pasca revolusi 1949, meskipun di-reform kembali pada dekade 80-an), serta yang faktual adalah Venezuela sebagai bagian dari revolusi sosial Bolivarian yang ‘digelar’ Pemerintahan Hugo Chavez sejak ia berkuasa tahun 1998.





BAB III
PENUTUP

Konflik –konflik agrarian yang terjadi dewasa ini meruipakan damapak dari tidak seriusnya Pemerintah dalam melaksanakan reformasi agrarian era reformasi yang didukung dnegan arus globalisai yang begitu kuat, menyebabkan akses rakyat tergadap sumber daya yang ada termasuk sumber daya agrarian semakin terpinggirkan oleh kekuatan pemilik modal. Oleh Karena itu perlu peran pemerintah dalam mengatasi hal ini. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 sebenarnya dibuat untuk menciptakan struktur pemilikan agraria yang berkeadilan. Namun dalam implementasinya, undang-undang tersebut seringkali diabaikan. Terbukti banyaknya undang-undang turunan UUPA, seperti Undang-un­dang No. 41/1999 tentang Kehu­tanan, Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan, Un­dang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air yang justru isinya bertolak belakang dengan UUPA itu sendiri.
Reformasi agrarian mutlak diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan agraia yang terjadi di Indonesia. Namun Reformasi Agraria yang dimaksud bukan sekedar redistribusi pemilikan, penguasan dan penggunaan tanah (land reform) tetapi juga harus dilengkapi dengan perangkat infrastruktur seperti kelembagaan yang menjadi penunjang terciptanya penataan struktur pemilikan dan penguasaan tanah secara menyeluruh seperti yang diungkapkan Tjondronegoro. Tanpa melakukan hal hal tersebut, konflik agraria akan terus terjadi dan semakin komplek.









Daftar Pustaka

Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960

Dimensi Pengelolaan Sumber Daya Agraria dan Tantangan Kelembagaan. Sofwan Saman dawai. 2012.

Mengurai Akar Konflik Agraria . M Edy Bisri Mustofa.9 Februari 2012

Pengingkaran UUPA Melahirkan Konflik Agraria. John Rivel. Kompas,18 July 2012.

 

Hukum Agraria Adalah Akar Permasalahan Konflik Agraria di Indonesia. Ali afriandy. Kompas, 20 Juli 2012

 

Problematika Agraria Dipersimpangan Jalan. Tri Budiarto. Kompas,20 September 2012