BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara tentang Agraria maka kita berbicara tentang hajat
hidup orang banyak. Hal ini mengingat agraria merupakan bagian penting bagi
pemenuhuan kebutuhan hidup masyarakat termasuk masyarakat Indonesia. Agraria
dalam pengertian tanah merupakan sumber utama kehidupan masyarakat Indonesia terutama
para petani. Sebagai negara agraris maka kehidupan warga negara sangat
bergantung pada tanah di negara tercinta ini. Sebagai gambaran, di Indonesia mata
pencaharian warga negara Indonesia yang menjadi petani sebesar 60 %. Tanah
sendiri memang memiliki peran penting dalam setiap perkembangan jaman di
Indonesia. Namun dalam perjalanan bangsa ini rakyat kecil khususnya petani
selalu menjadi pihak yang tertindas, dan terkalahkan oleh pihak yang memiliki
kekuasaan.
Pada jaman kerajaan, tanah menjadi simbol status dan alat
politik raja, tanah diklaim dan dikuasai oleh para pamong praja dan raja.
Sementara itu para petani dicekik dengan harus membayar upeti, sehingga para
petani tersebut banyak yang mengalami kelaparan. Ketika memasuki jaman kolonial,
para petani dipaksa untuk menanam tanaman ekspor yang dihargai sangat murah dan
para petani tersebut dipaksa untuk membayar pajak yang dapat mencekek para kaum
tani tersebut sehingga banyak sekali timbul kelaparan dan penyakit busung lapar
di negeri ini. Para petani kebingungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Kemudian di era kemerdekaan, para petani kembali menjadi pihak
yang tertindas dari program Revolusi Hijau yang dicanangkan oleh pemerintah.
Terbukti Revolusi Hijau hanya menguntungkan para petani kaya saja, dan para
petani miskin yang hanya mempunyai luasan tanah terbatas kembali dalam keadaan
terpuruk dan tertindas oleh para petani kaya. Program ini juga dinilai tidak menjawab kebutuhan rakyat
miskin di negeri ini yang dapat menemukan atau menikmati rasa keadilan dan
kesejahteraan bagi rakyatnya.
Namun kehidupan petani yang paling parah setelah masuknya
perdagaan bebas (kekuatan neoliberalisme) di Indonesia yang menguntungkan para
pemodal melalui kebijakan pemerintah dan peran serta organisasi Internasional
seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia. Melalui kekuatan neoliberalisme ini
kebijakan-kebijakan pemerintah yang tadinya pro terhadap petani, rakyat dan
bangsa Indonesia, kebijakan-kebijakan tersebut beralih keberpihakannya yang
tadinya pro rakyat menjadi pro penguasa modal (kapitalis). Hal ini menyebabkan
rasa ketidak adilan dan kesejahteraan kemabali dinikmati lagi oleh para kaum
melarat di bumi pertiwi ini.
Konflik agraria yang terjadi akhir- akhir ini merupakan
persoalan serius bangsa yang perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak
khususnya pemerintah. Masih ingat dalam
ingatan kita kasus di Bima, Mesuji, Pulau Padang yang terjadi beberapa waktu
lalu. Namun, selain kasus tersebut, masih
ada ratusan kasus konflik agraria lain yang luput dari perhatian kita semua.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam laporan akhir tahunnya mencatat,
tahun 2011 saja terjadi 163 konflik agraria di seluruh Indonesia yang
menewaskan 24 orang petani dan rakyat yang menggarap lahan (kompas, 31
Desember 2011). Berbagai konflik
pertanahan tersebut yang terjadi tersebut, mencuatkan kembali wacana tentang
perlunya reformasi agraria demi mencegah terjadinya konflik serupa dimasa depan.
Berbagai kalangan menekankan perlunya diselenggarakan reformasi agraria guna
menjamin hak-hak rakyat, khususnya petani, terhadap tanah sebagai alat produksi
yang paling vital dalam sistem produksi pertanian maupun perladangan. Dalam
konteks Indonesia, reformasi agraria menjadi suatu hal yang urgen untuk segera
dilakukan.
B.
Kerangka
Teori
Reformasi Agraria
Secara etimologis reformasi agraria berasal dari bahasa
Spanyol, yang memiliki arti suatu upaya
perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan
struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi
pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa (Jurnal
Dialektika LPPMD UNPAD, 2006). Sementara Krishna Ghimire dalam bukunya yang
berjudul Land Reform & Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural
Poverty & Agrarian Reform In Developing Countries (2001),
mendefinisikan reformasi agraria atau land reform sebagai perubahan besar dalam struktur agraria, yang
membawa peningkatan akses petani miskin pada lahan, serta kepastian penguasaan (tenure) bagi mereka yang menggarap
lahan. Termasuk juga akses pada input pertanian, pasar serta jasa-jasa dan
kebutuhan pendampingan lainnya.
Menurut Badan Pertanahan Nasional RI makna reformasi agraria
adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan, dan pemilikan
sumber-sumber agraria, terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan
keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat. Apabila makna ini didekomposisikan,
terdapat lima komponen mendasar di dalamnya, yaitu:
- Resturukturisasi penguasaan asset tanah ke arah
penciptaan struktur sosial-ekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity),
- Sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasisi
keagraraiaan (welfare),
- Penggunaan atau pemanfaatan tanah dan faktor-faktor
produksi lainnya secara optimal (efficiency),
- Keberlanjutan (sustainability), dan
- Penyelesaian sengketa tanah (harmony).
Tuma
(1965) juga menyimpulkan bahwa “landreform” dalam pengertian luas akhirnya
dapat disamakan dengan “agrarian reform” (reforma agraria), yakni suatu upaya
untuk mengubah struktur agraria demi terciptanya tujuan sebagaimana disebutkan
di atas.
Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa reformasi agraria merupakan suatu perubahan dalam struktur
agraria dengan tujuan peningkatan akses kaum tani miskin akan penguasaan tanah
melalui redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah. Pada hakekatnya reformasi
agraria dilakukan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan kaum tani miskin. Adapun tujuan dari landreform menurut Michael Lipton adalah:
- Menciptakan pemerataan hak atas
tanah diantara para pemilik tanah. Ini dilakukan melalui usaha yang
intensif yaitu dengan redistribusi tanah, untuk mengurangi perbedaan
pendapatan antara petani besar dan kecil yang dapat merupakan usaha untuk
memperbaiki persamaan diantara petani secara menyeluruh.
- Untuk meningkatkan dan
memperbaiki daya guna penggunaan lahan. Dengan ketersediaan lahan yang
dimilikinya sendiri maka petani akan berupaya meningkatkan
produktivitasnya terhadap lahan yang diperuntukkan untuk pertanian
tersebut, kemudian secara langasung akan mengurangi jumlah petani
penggarap yang hanya mengandalkan sistem bagi hasil yang cenderung
merugikan para petani.
Ekonom terkemuka dari Bangladesh Rehman Sobhan dalam buku
karyanya yang berjudul Agrarian Reform and Social Transformation:
Preconditions for Development (1993), melalui hasil analisis program
reformasi agraria yang telah berlangung di 36 negara di seluruh dunia, menyampaikan
kesimpulannya bahwa bila sebuah negara ingin mewujudkan penghapusan kemiskinan
di pedesaan serta mengakselerasikan segala pembangunan ekonomi, maka tidak ada
alternatif lain selain melakukan reformasi agraria yang radikal. Reformasi
agraria tersebut akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara merata bagi
sebagian besar rakyat yang tak bertanah dan yang kekurangan tanah. Hal itu
dengan sendirinya dapat menghapuskan secara total penguasaan tanah yang dominan
dari kelas-kelas yang lama (feodal) maupun baru (kapitalis) di pedesaan. Pemerataan
penguasaan tanah di pedesaan sebagai hasil dari reformasi agraria akan
menghasilkan peningkatan kesejahteraan warga desa yang pada umumnya petani
gurem atau buruh tani. Peningkatan kesejahteraan tersebut akan menimbulkan
konsekuensi peningkatan daya beli warga desa. Hal ini akan menjadi pasar
potensial bagi produk-produk industri nasional, yang, pada akhirnya, dapat
membantu proses industrialisasi nasional sebagai fondasi bagi kemandirian
ekonomi bangsa.
Reformasi agraria sendiri memiliki corak yang berbeda
pada masing-masing negara. Ada yang bercorak kapitalistik, sebagai buah
perombakan sistem produksi feodal menuju terbentuknya pasar bebas pertanahan
yang berdasarkan kompetisi modal. Corak semacam ini terjadi di Jepang, Perancis
dan Korea. Sementara adapula yang bertipe sosialis, yakni merubah struktur
kepemilikan tanah secara radikal dari monopoli segelintir tuan tanah,
pemilik modal maupun kapitalis birokrat menjadi pengelolaan tanah oleh para
petani kecil dan tak berlahan secara kolektif dan merata. Dan proses reformasi
ini dilakukan secara intensif oleh negara. Hal ini terjadi di Kuba dan
Venezuela.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengelolaan
sumber Daya Agraria di Indonesia
Pengelolaan
tanah dan sumber daya agraria merupakan hal mendasar bagi suatu Negara. Hal ini
mengingat pengeloloaan agrarian berkaitan erat denagn kehidupan ekonomi warga
negara dan juga isu sosial politik. Konsep pengelolaan sumber daya seringkali
menjadi alat kepentingan sosial ekonomi dan politik golongan tertentu. Di
Indonesia sendiri pengaturan agrarian tertuang di dalam Undang-Undang Pokok Agraria
Tahun 1960 atau yang lebih kita kenal dengan UUPA Tahun 1960. UUPA sendiri
merupakan perwujudan dari pasal 33 UUD 1945. Menurut Undang- undang tersebut
penguasaan tanah dan sumber daya agraria berada di tangan negara untuk
dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Namun
dalam pelaksanaannya UUPA tersebut seringkali ditafsirkan oleh pemerintah
sebagai alat akumulasi keuntungan pribadi dengan dalih pemasukan devisa Negara
dan cenderung mengabaikan hak-hak rakyat. Berbagai produk turunan dari UUPA
seperti Undang-undang No. 41/1999 tentang
Kehutanan, Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan, Undang-undang No.
7/2004 Sumber Daya Air, Undang-undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-undang No. 4/2009 tentang Mineral
dan Batubara serta yang terakhir Undang-undang Pengadaan Tanah 2011 adalah
sebagian produk perundang-undangan yang diterbitkan guna memperlancar ekpansi
pemilik modal untuk menguasai sektor agraria negeri ini. Produksi berbagai
aturan perundang-undangan sendiri bila dikaji lebih dalam tidak berpijak pada
UUPA itu sendiri sehingga turut berkontribusi pada terjadinya konflik agraria
di berbagai daerah.
Pada tahun 2011 hingga 2012 saja misalnya terdapat sekitar
88 kasus terkait perebutan lahan dan tanah. Menurut data BPN hingga
2010 kasus agraria telah mencapai 8.000 kasus, sementara laporan akhir tahun
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2011 mencatat 163 konflik yang
menyebar seluruh Indonesia.
Kasus terbesar dan menyita perhatian publik adalah kasus Mesuji. Kasus yang
kemudian menjadi isu nasional arena DPR turut turun tangan guna memediasi
konflik. Akar permasalahan yang terjadi baik di Mesuji, Sumatera Selatan maupun
daerah lain adalah lahan/tanah. Diakui atau tidak penguasaan
lahan/tanah di Indonesia di dominasi oleh para pemilik modal. Disisi lain jumlah
petani di Indonesia yang tergolong “petani gurem” terus bertambah tiap
tahunnya. Di Indonesia, terdapat lebih
dari 80 persen petani gurem atau petani yang berlahan kurang dari 1 hektar.
Lebih dari 50 persen jumlah petani berlahan sempit ini menguasai hanya 21
persen dari keseluruhan lahan pertanian (Husken dan White, 1989). Struktur
agraria semacam ini merupakan warisan dari politik agraria kolonial yang masih
lestari hingga kini. Terdapat empat hal yang menyebabkan ketidakadilan agraria
saat ini adalah:
- Adanya
struktur yang timpang dalam pengusaan sumber-sumber Agraria sebagai warisan
zaman feodal dan zaman kolonial.
- Adanya
komoditas tanah yang mengebiri nilai-nilai filosofis tanah dan hanya
menjadikan tanah sebagai alat investasi belaka.
- Adanya
kesalahan paradigma pembangunan.
- Adanya
penindasan berupa intervensi pemodal melalui organisasi Internasional.
Kondisi- kondisi tersebut menyebabkan adanya ketimpangan
kesejahteraan yang semakin melebar. Ketimpangan yang terjadi dalam pengusaan
alat-alat produksi sehingga menyebabkan proses kemiskinan terhadap petani dan
rakyat kecil di Indonesia. Petani yang tidak memiliki akses terhadap sumber agraria
semakin jatuh kedalam kemiskinan, sementara itu para penguasa modal semakin
mudah untuk memperkaya diri sendiri dan tertawa terbahak-bahak dibalik
penderitaan rakyat miskin Indonesia.
UUPA tahun 1960 yang berlaku hingga sekarang sebenarnya
merupakan Undang-undang yang dibentuk pada era pemerintahan soekarno untuk
mengatasi berbagai permasalahan diatas. Salah satu contoh pasal yang berpihak
pada kepentingan kaum tani miskin dalam undang-undang tersebut ialah pasal 13
yang berisi empat ayat dan berbunyi sebagai berikut :
- Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam
lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan
kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta
menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai
dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
- Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan
agrarian dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat
monopoli swasta.
- Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang
bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
- Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan
jaminan sosial,termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan
agraria.
Namun dalam pelaksanaannya UUPA tahun 1960 tersebut hanya
dijadikan sebuah hiasan, tidak pernah dikaji bahkan dilaksanakan. Padahal UUPA
tahun 1960 tersebut dinilai mampu menyelesaikan permasalahan-permasalan konflik
agraria yang terjadi saat ini di Negara yang kaya akan Sumber Daya Alamnya. Ada
duagaan terdapat kengganan dari pemerintah untuk melaksanakan UUPA tersebut.
Terdapat oknum yang dekat dan memiliki akses kekuasaan yang merasa diuntungkan
dengan tidak diklaksanakannya UUPA tersebut secara konsisten oleh pemerintah.
B.
Reformasi Agraria, Harus Bagaimana?
Reformasi agrarian merupakan suatu upaya yang harus
dilakukan guna menciptakan struktur yang adil dalam pengeloaan sumber daya
agraria. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang
ilmuan Ekonom terkemuka dari Bangladesh Rehman Sobhan dalam buku karyanya yang
berjudul Agrarian Reform and Social Transformation: Preconditions for
Development (1993). Dari hasil program reformasi agraria yang telah
berlangung di 36 negara di seluruh dunia, dapat disimpulkan bahwa bila sebuah
negara ingin mewujudkan penghapusan kemiskinan di pedesaan serta
mengakselerasikan segala pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternatif lain
selain melakukan reformasi agraria yang radikal. Reformasi agraria tersebut
akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara merata bagi sebagian besar
rakyat yang tak bertanah dan yang kekurangan tanah. Hal itu dengan sendirinya
dapat menghapuskan secara total penguasaan tanah yang dominan dari kelas-kelas
yang lama (feodal) maupun baru (kapitalis) di pedesaan.
Kondisi tersebut sebenarnya telah disadari oleh presiden
Soekarno waktu itu dengan diterbitkanannya UUPA. Presiden Soekarno dalam sambutannya
pada peletakan batu pertama fakultas Pertanian Universitas Indonesia mengatakan
pangan adalah hidup dan matinya suatu bangsa. Manajemen pemenuhan kebutuhan
pangan rakyat akan membawa kepada kestabilan negara. Di masa orde baru, berbagai
kebijakan yang diambil pemerintah cenderung menempatkan pertumbuhan ekonomi
nasional sebagai ujung tombak program. Hal itu juga yang terjadi dalam
persoalan pertanahan. UUPA 1960 dijalankan tak lagi menyokong kesejahteraan
sosial, namun bagaimana aliran modal asing bisa masuk ke Indonesia. lancarnya
aliran modal asing tentu membutuhkan syarak kelayakan usaha yang tinggi. Maka
dari itu selain dengan menusahakan kestabilan situasi keamanan dan politik,
pemerintah berusaha memfasilitasi pemodal asing itu dengan bahan baku dan modal
yang murah. Salah satu modal yang dinilai penting adalah tanah. Pemerintah Orde
Baru melihat celah kesempatan atas pemberlakuan UUPA 1960 ini guna member ”pelayanan”
yang memuaskan bagi asing. UUPA dipelintir sedimikian rupa, tanah rakyat banyak
yang kemudian “direbut” pemerintah dengan dalih proyek nasional. Hal itu
diperparah dengan paradigma yang berkembang dimasyarakat yang menjadikan tanah
sebagai suatu komoditas dagang. Tanah bukan lagi menjadi kesatuan identitas dan
jati diri, namun barang yang bisa dengan mudah diperjual-belikan.
Begitu peliknya permasalahan menuntut adanya pembaruan
Undang-undang sebagai landasan hukum agrarian untuk menghindari berbagai
konflik agrari ayang terjadi. Karena sebagaimana diungkapkan Mochammad Tauhid
(1952), “agraria tak lepas dari persoalan tanah dan persoalan hidup dan sumber
penghidupan manusia, Perebutan tanah berarti perebutan sumber makanan,
perebutan sumber penghidupan bagi manusia. Untuk itu, orang rela menumpahkan
darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya.
Itulah yang sebenarnya mendasari konflik agraria di Indonesia ketika
tanah-tanah yang luas dikuasai oleh individu atau perusahaan besar, sementara
itu jutaan petani kecil tidak memiliki tanah atau lahan.
Tuntutan
mengenai reformasi agararia yang berkembang dewasa ini merupakan tuntutan akan
adanya pengelolaan sumber daya agraria untuk mewujudkan sistem pengelolaan dan
pemanfaatan yang lebih adil. Politik
agraria yang dijalankan pemerintahan reformasi dengan haluan kapitalisme
liberal saat ini jelas bertentangan dengan semangat UU PA No.5/1960 yang
berlandaskan sosialisme Indonesia yang hakekat dan tujuan sebenarnya dari
pelaksanaan reformasi agraria, yakni peningkatan kesejahteraan petani miskin. Cita-cita
Reformasi agraria sebagai upaya untuk menjamin pengaturan sumber daya agraria
yang adil disebutkan oleh beberapa tokoh seperti Tjondronegoro dan Gunawan
Wiradi. Gunawan menyebutkan bahwa reforma agraria harus dilakukan karena
merupakan realisasi pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Ketua Dewan Nasional
Konsorsium Pembaruan Agraria, Usep Setiawan berpendapat bahwa pelaksanaan
reforma agraria harus mendapat dukungan dari seluruh kementerian dan lembaga
yang terkait, serta ada tindak lanjutnya oleh pemerintah daerah dan harus
melibatkan rakyat dalam pelaksanaannya., rakyat juga dilibatkan.
Dalam konteks
peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan rakyat, dapat dikatakan
hampir semua negara industri maju telah melakukan reforma agraria sebelum melaksanakan
industrialisasinya. Pengalaman pelaksanaan reforma agraria di sejumlah negara
Asia (seperti: Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan Cina), Afrika dan Amerika
Latin, seperti yang diungkapkan oleh Lin (1974) menunjukkan setidaknya ada 10
(sepuluh) aspek utama yang perlu diurus kelengkapannya oleh penyelenggara
negara bila reforma agraria mau berhasil, yakni: (1) Mandat Konstitusional, (2)
Hukum Agraria dan Penegakkannya, (3) Organisasi Pelaksana, (4) Sistem
Administrasi Agraria, (5) Pengadilan, (6) Desain Rencana dan Evaluasi, (7)
Pendidikan dan Latihan, (8) Pembiayaan, (9) Pemerintahan Lokal, dan (10) Partisipasi
Organisasi Petani.
Berbagai
negara dinilai sukses menyelenggarakan reformasi agraria dan menciptakan pasar
domestik yang potensial adalah Jepang (pasca Restorasi Meiji abad 19),
Korea Selatan (1945-1953), Mesir (pada masa pemerintahan Gamal Abdul
Nasser), Libya (setelah Kol. Muammar Khadafi berkuasa tahun 1969), Kuba
(pasca revolusi 1959), Cina (pasca revolusi 1949, meskipun di-reform
kembali pada dekade 80-an), serta yang faktual adalah Venezuela sebagai bagian
dari revolusi sosial Bolivarian yang ‘digelar’ Pemerintahan Hugo Chavez sejak
ia berkuasa tahun 1998.
BAB
III
PENUTUP
Konflik –konflik
agrarian yang terjadi dewasa ini meruipakan damapak dari tidak seriusnya
Pemerintah dalam melaksanakan reformasi agrarian era reformasi yang didukung
dnegan arus globalisai yang begitu kuat, menyebabkan akses rakyat tergadap
sumber daya yang ada termasuk sumber daya agrarian semakin terpinggirkan oleh
kekuatan pemilik modal. Oleh Karena itu perlu peran pemerintah dalam mengatasi
hal ini. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 sebenarnya dibuat untuk
menciptakan struktur pemilikan agraria yang berkeadilan. Namun dalam implementasinya,
undang-undang tersebut seringkali diabaikan. Terbukti banyaknya undang-undang
turunan UUPA, seperti
Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, Undang-undang No. 18/2003
tentang Perkebunan, Undang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air yang
justru isinya bertolak belakang dengan UUPA itu sendiri.
Reformasi agrarian
mutlak diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan agraia yang terjadi di
Indonesia. Namun Reformasi Agraria yang dimaksud bukan sekedar redistribusi
pemilikan, penguasan dan penggunaan tanah (land reform) tetapi juga harus
dilengkapi dengan perangkat infrastruktur seperti kelembagaan yang menjadi penunjang
terciptanya penataan struktur pemilikan dan penguasaan tanah secara menyeluruh seperti
yang diungkapkan Tjondronegoro. Tanpa melakukan hal hal tersebut, konflik
agraria akan terus terjadi dan semakin komplek.
Daftar
Pustaka
Undang-Undang
Pokok Agraria Tahun 1960
Dimensi Pengelolaan Sumber Daya
Agraria dan Tantangan Kelembagaan. Sofwan Saman dawai. 2012.
Mengurai Akar Konflik Agraria . M Edy Bisri Mustofa.9 Februari 2012
Pengingkaran UUPA Melahirkan Konflik Agraria.
John Rivel. Kompas,18 July 2012.
Hukum Agraria Adalah Akar Permasalahan Konflik Agraria di Indonesia. Ali
afriandy. Kompas, 20 Juli 2012