Total Tayangan Halaman

Kamis, 01 November 2012

PERUBAHAN BUDAYA BIROKRASI SEBAGAI PRASYARAT GOOD GOVERNANCE




PERUBAHAN BUDAYA BIROKRASI
SEBAGAI PRASYARAT GOOD GOVERNANCE
 

 PENDAHULUAN
            Paska reformasi 1997, harapan bangsa Indonesia untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (good governance) begitu besar, mengingat skala reformasi yang dijalankan oleh Pemerintah waktu itu dinilai cukup luas cakupannya, bahkan dipandang terlalu cepat dari yang pernah dijalankan oleh banyak negara-negara di dunia. Indonesia juga dipandang telah melakukan perubahan radikal dalam tata hubungan antara pusat dan daerah melalui program desentralisasi pemerintahan yang belum pernah ditempuh oleh negara manapun di dunia.   
            Namun dalam kenyataannya, reformasi pemerintahan yang begitu luas jangkauannya dan begitu radikal perubahannya belum berhasil mewujudkan good governance yang mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Terdapat beberapa faktor penyebab hal tersebut, diantaranya pelaksanaan reformasi birokrasi dinilai banyak kalangan hanya setengah hati.  Selain itu Perubahan budaya organisasi juga kurang mendapat perhatian serius, padahal tanpa perubahan budaya organisasi, tidak mungkin good govarnance dapat diwujudkan.
            Budaya organisasi  sendiri mengandung beberapa pengertian seperti: 1) sebagai nilai-nilai dominan yang didukung  oleh organisasi, 2) falsafah yang menuntun kebijakan organisasi terhadap pegawai dan pelanggan, atau 3) cara pekerjaan yang dilakukan di tempat itu. Djokosantoso Mulyono dalam bukunya “Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi”, mendifinisikan budaya organisasi sebagai “sistim nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi, yang dipelajari, diterapkan dan dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berprilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan”.  Dari pengertian tersebut dapat diartikan pula bahwa dalam setiap organisasi terdapat pola tentang kepercayaan, ritual, mitos serta praktek-praktek yang berkembang sejak beberapa lama.  Dari keadaan tersebut para anggota organisasi memiliki pemahaman yang sama mengenai bagaimana sebenarnya organisasi itu dan bagaimana anggotanya harus berperilaku.
            Sebagai negara kepulauan yang besar dengan jumlah penduduk hampir 250 juta, Indonesia memiliki sekitar 300 suku bangsa atau etnik sehingga kondisi masyarakatnya heterogen.  Heterogenitas masyarakat yang besar ini memiliki sistem nilai dan norma budaya masing-masing. Adanya variasi dan keanekaragaman budaya tersebut akan mewarnai variasi pola perilaku masyarakat tempat kebudayaan tersebut berlaku. Dengan demikian, perilaku seseorang dalam organisasi termasuk birokrasi tidak bisa lepas dari pengaruh budaya lokal dimana mereka berada. Budaya birokrasi yang berkembang di suatu pemerintah daerah, tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial yang ada di sekitarnya.          
           
 
 PEMBAHASAN


  
A. Budaya Birokrasi Di Lingkungan Pemerintah Daerah
            Budaya organisasi menunjukkan kepribadian suatu organisasi yang meliputi keyakinan bersama, nilai-nilai dan perilaku-perlaku yang dianut oleh semua anggota organisasi. Seperti disebutkan pada bab sebelumnya bahwa budaya organisasi/ birokrasi sangat dipengarui oleh orang orang yang ada di dalamnya dan budaya yang berkembang di daerah tersebut. Secara umum budaya Birokrasi di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia mempunyai ciri-ciri sesuai dengan gambaran konsep “Birokrasi Sala” yang digambarkan dengan adanya heterogenitas, formalisme dan overlapping.
            Heterogenitas, ditandai dengan adanya fungsi administratif yang berdasarkan kekeluargaan tetap dilanjutkan secara diam-diam. Dibentuk organisasi baru untuk menggantikan organisasi atas dasar kekeluargaan. Dibentuk norma-norma, akan tetapi norma-norma tersebut tidak dihiraukan. Dalam masyarakat tradisional di negara berkembang termasuk Indonesia, keluarga merupakan landasan bagi pemerintahan dan administrasi negara. Akibatnya jabatan-jabatan dalam pemerintahan diperuntukkan bagi anggota keluarga. Hal ini berbeda dengan masyarakat yang lebih modern, jabatan didasarkan pada rekruitmen formal, namun dalam manajemen kepegawaian banyak keputusan yang dipengaruhi oleh kepentingan keluarga dan ikatan primordial.
            Formalisme, ditandai dengan adanya tingkat ketidaksesuaian antara apa yang tertulis dengan prakteknya. Seringkali pelaksanaan peraturan jauh dari norma-norma yang tersurat dan tersirat. Peraturan yang dibuat oleh orang modern, akan tetapi dalam prakteknya mengikuti norma norma tradisional.
            Overlapping, ditandai dengan adanya tumpang tindih antara urusan keluarga dan kantor. Hal ini dapat  terjadi karena adanya pengaruh keluarga dalam pelaksanaan fungsi dinas sedemikian rupa sehingga peraturan  ahanya diterapkan secara tegas bagi pihak lain dan secara longgar bagi keluarga atau sana famili.
            Kenyataan tersebut di atas merupakan hal yang tidak bisa di pungkiri di Indonesia. Budaya paternalisme masih menjadi menjalar di lingkungan birokrasi kita saat ini baik di lingkungan Pemerintah Pusat maupun Daerah. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman masa lalu bangsa Indonesia dibawah penjajahan kolonial masa itu. Untuk mengefektifkan jalannya roda pemerintahan kolonial, Belanda mengangkat merekrut pegawai yang berasal dari strata sosial atas dan kebanyakan berasal dari kalangan keturunan bangsawan keraton (kaum priyayi atau ningrat).  Oleh karena itu birokrasi Indonesia baik yang terdapat di Jawa maupun dihampir seluruh pemerintah daerah di Indonesia, sangat  diwarnai oleh budaya tradisional keraton yang masuk dalam sistem nilai dan budaya birokrasi saat ini.
            Budaya keraton pada masa lalu masih menjadi pusat kehidupan masyarakat.  Nilai-nilai yang dianggap luhur dan agung  yang terdapat di lingkungan keraton masih diikuti oleh para penganutnya, terutama yang berstrata rendah yang ada di luar lingkungan keraton. Corak paternalistik birokrasi di Indonesia tersebut lebih mencerminkan hubungan bapak dan anak (bapakisme) dan hal tersebut dianggap lebih halus dibandingkan dengan hubungan patron klien.  
         Dalam Hubungan bapakisme sangat menekankan pada hubungan nonmaterial maupun material dibanding hubungan patron klien yang lebih menuntut segi material. Hubungan yang muncul dalam bapakisme meliputi aspek pemenuhan kebutuhan sosial, emosional, spiritual, maupun material, sehingga seorang anak buah dalam suatu organisasi akan melakukan tugas pekerjaan secara sukarela dan loyal terhadap perintah atasannya.  Oleh karena itu maka yang menjadi ukuran pengangkatan atau pemilihan pejabat atau pegawai semata-mata hanya didasarkan loyalitas dan dukungannya, bukan menggunakan merit system yang seharusnya diterapkan yaitu suatu pemilihan dan pengangkatan pegawai atau pejabat yang didasarkan pada keahlian dan kecakapannya. Dengan demikian birokrasi patrimonialisme jelas sangat rawan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, kolusi serta  nepotisme (KKN).  Secara struktural dan kultural pengaruhnya sangat kuat.
            Kondisi birokrasi seperti di atas semakin parah ketika berasa di masa pemerintahan soeharto (masa orde baru). Pada masa Soeharto, kondisi birokrasi semakin amburadur, ketika Soeharto menginterpretasikan budaya Jawa untuk mempengaruhi masyarakat demi mempertahankan kekuasaannya, seperti pepatah jawa “mikul duwul mendem jero” yang artinya selalu menyiarkan kebaikan orang lain terutama kebaikan orang tua dan jika orang tua berbuat salah harus ditutup-tutupi. Oleh Karena itu tidak mengherankan jika Birokrasi pada masa orde baru hanya dijadikan sebagai alat politik penguasa.
            Otonomi daerah yang dijalankan  13 tahun lalu, sejak dikeluarkannya Undang-undang 22 Tahun 199 tentang Otonomi Daerah Sebagaimana diubah dengan Undang –undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ternyata belum mampu menjawab tuntutan masyarakat akan terwujudnya pemerintah daerah yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Padahal inti dari otonomi daerah sendiri adalah peningkatan pelayanan umum. Dengan adanya pelimpahan kewenagan dari pusat kepada daerah, diharapkan daerah mampu menjawab kebutuhan masyarakat tersebut, karena Pemerintah daerah dianggap lebih tahu akan kebutuhan masyarakat daerahnya.
            Kumorotomo dalam (dalam Dwiyanto, 2002) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publik, antara lain: Efisiensi, efektivitas, keadilan, daya tanggap. Namun kenyataannya, organisasi pemerintah daerah belum mampu memenuhi prinsip-prinsip pelayanan tersebut. Kita masih banyak melihat pelayanan birokrasi kita masih sangat diskriminatif dan memerlukan biaya tinggi.  Hal ini menunjukkan budaya birokrasi mpada masa sekarang tidak jauh beda dengan masa orde baru, meskipun harus kita akui sudah ada perubahan di berbagai sektor.

B.  Perubahan Budaya Organisasi Untuk Mendukung Good Governance

            Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 1125 tahun yang lalu. Adapun Wacana tentang “governance” yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan, baru muncul sekitar 15 tahun belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional mempersyaratkan “good governance” dalam berbagai program bantuannya. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, term “good governance” telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tatapemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih.
             Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance, yakni: pemerintah (state), civil society (masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan masyarakat pengusaha. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang sinerjik dan setara. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas (Sofian Efendi, 2005).
            Seperti telah disebutkan di atas salah satu penyebab kurang berhasilnya reformasi administrasi untuk mendukung penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (good governance) karena Pemerintah tidak menaruh perhatian yang serius terhadap perubahan budaya organisasi. Padahal budaya organisasi memiliki pengaruh besar pada keberhasilan dan mati hidup sebuah organisasi. Karena itulah tidak mengherankan jika di sektor privat, perusahaan bersedia mengeluarkan dana yang amat besar untuk mengubah budaya perusahaan (corporate culture) agar selalu sesuai dengan lingkungannya yang selalu berubah dengan cepat.   Memang tidak bisa dipungkiri bahwa budaya organisasi adalah tradisi yang sangat sukar diubah. Bahkan, pada organisasi baru, membangun budaya organisasi yang sesuai dengan misinya lebih mudah untuk dilakukan daripada mengubah budaya ayng telah ada.
            Peter Bijur (2001) menganggap syarat yang paling utama untuk menjamin keberhasilan upaya perubahan budaya organisasi adalah kepemimpinan yang kuat (strong leadership) baik dalam kemampuan memimpin maupun dalam ketajaman visinya.  Hal ini yang menjadi kendala kita selama ini di Indonesia. Terdapat 5 faktor penting untuk mensukseskan perubahan budaya organisasi yaitu:
a.       Nilai-nilai yang mendukung pencapaian visi yang telah ditetapkan;
b.      Motivasi yang mampu memobiliasi dukungan untuk perubahan;
c.       Ide dan Strategi yang tepat untuk menciptakan lingkungan yang mampu menyuburkan kebersamaan  dalam perumusan ide-ide dan strategi untuk mendorong perubahan;
d.      Tujuan yang jelas serta selalu dikomunikasikan kepada para anggota organisasi;
e.       Etik kinerja yang ditumbuhkan dengan sistem remunerasi dan penghargaan yang tepat.
            Selain itu untuk mencapai budaya yang berkinerja tinggi dan rasa percaya diri yang tinggi maka birokrasi baik itu pusat maupun daerah perlu memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
a.       Rasa hormat (respect)
b.      Tanggung jawab  (responsibility)
c.       Memberikan teladan  
d.      Hubungan (relationship)
e.       Penghargaan dan hukuman (rewards dan punishment)
f.       Pengambilan risiko (risk taking)


 PENUTUP

             Organisasi yang ingin merubah budayanya harus berani menempuh jalan yang tidak mudah, melalui  turbulence atau bahkan  chaos,  untuk mencapai penyesuaian dengan nilai-nilai, norma-norma, perilaku dan simbol-simbol budaya baru.  Birokrasi sebagai sebuah organisasi publik harus disiapkan untuk selalu adaptif terhadap perubahan-perubahan dan harus dapat menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat.
            Perubahan budaya birokrasi adalah proses panjang dan mahal yang tidak ada jaminan sukses. Menurut Sofian Effendi diperlukan waktu minimal 5 sampai 10 tahun untuk merubah budaya organisasi dengan sekala seperti Republik Indonesia atau pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Karena itu strategi yang diajurkan oleh para ahli (Morgan, 1996 dan Toolpack, 2001) adalah perubahan secara bertahap dan gradual. Memang kurang revolusioner, kurang radikal tetapi lebih aman.  Untuk mendukung keberhasilan perubhan budaya birokrasi yang lebih adaptif dan responsive terhadpatuntutan msyarakat diperlukn poltical will atau komitmen dari pemimpin baik itu tingkat pusat, daerah maupun organisasi yang lebih kecil di lingkungannya. Tanpa komitmen tersebut sangat mustahil birokrasi di Indonesia khususnya di Lingkungan Pemerintah Daerah akan semakin profesional.
           

 

 Daftar Pustaka

Undang –undang 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
Undang –undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Kajian Lembaga Administrasi Negara, 2011, Penataan Pola Hubungan jabatan Politik dan Jabatan Karir
Manajemen Pegawai Negeri Sipil, 2001, Badan Kepegawaian Negara Jakarta
Membangun Budaya Birokrasi Untuk  Good Governance. Sofian Effendi .Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi Diselenggarakan Kantor Menteri Negara PAN. 22 September 2005.
http://hendra4ever.blog.fisip.uns.ac.id/2011/02/11/budaya-birokrasi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar