PERUBAHAN BUDAYA BIROKRASI
SEBAGAI PRASYARAT
GOOD GOVERNANCE
PENDAHULUAN
Paska reformasi 1997, harapan bangsa
Indonesia untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (good governance) begitu besar, mengingat skala reformasi yang
dijalankan oleh Pemerintah waktu itu dinilai cukup luas cakupannya, bahkan
dipandang terlalu cepat dari yang pernah dijalankan oleh banyak negara-negara
di dunia. Indonesia juga dipandang telah melakukan perubahan radikal dalam tata
hubungan antara pusat dan daerah melalui program desentralisasi pemerintahan
yang belum pernah ditempuh oleh negara manapun di dunia.
Namun dalam kenyataannya, reformasi
pemerintahan yang begitu luas jangkauannya dan begitu radikal perubahannya
belum berhasil mewujudkan good governance
yang mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Terdapat beberapa faktor
penyebab hal tersebut, diantaranya pelaksanaan reformasi birokrasi dinilai
banyak kalangan hanya setengah hati. Selain itu Perubahan budaya organisasi juga
kurang mendapat perhatian serius, padahal tanpa perubahan budaya organisasi,
tidak mungkin good govarnance dapat diwujudkan.
Budaya organisasi sendiri mengandung beberapa pengertian
seperti: 1) sebagai nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi, 2)
falsafah yang menuntun kebijakan organisasi terhadap pegawai dan pelanggan,
atau 3) cara pekerjaan yang dilakukan di tempat itu. Djokosantoso Mulyono dalam
bukunya “Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi”, mendifinisikan budaya
organisasi sebagai “sistim nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi,
yang dipelajari, diterapkan dan dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi
sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berprilaku dalam organisasi
untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan”. Dari pengertian tersebut dapat diartikan pula
bahwa dalam setiap organisasi terdapat pola tentang kepercayaan, ritual, mitos
serta praktek-praktek yang berkembang sejak beberapa lama. Dari keadaan
tersebut para anggota organisasi memiliki pemahaman yang sama mengenai
bagaimana sebenarnya organisasi itu dan bagaimana anggotanya harus berperilaku.
Sebagai negara kepulauan yang besar
dengan jumlah penduduk hampir 250 juta, Indonesia memiliki sekitar 300 suku bangsa
atau etnik sehingga kondisi masyarakatnya heterogen. Heterogenitas
masyarakat yang besar ini memiliki sistem nilai dan norma budaya masing-masing.
Adanya variasi dan keanekaragaman budaya tersebut akan mewarnai variasi pola
perilaku masyarakat tempat kebudayaan tersebut berlaku. Dengan demikian,
perilaku seseorang dalam organisasi termasuk birokrasi tidak bisa lepas dari
pengaruh budaya lokal dimana mereka berada. Budaya birokrasi yang berkembang di
suatu pemerintah daerah, tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial
yang ada di sekitarnya.
PEMBAHASAN
A. Budaya Birokrasi Di Lingkungan Pemerintah
Daerah
Budaya organisasi
menunjukkan kepribadian suatu organisasi yang meliputi keyakinan bersama,
nilai-nilai dan perilaku-perlaku yang dianut oleh semua anggota organisasi. Seperti
disebutkan pada bab sebelumnya bahwa budaya organisasi/ birokrasi sangat
dipengarui oleh orang orang yang ada di dalamnya dan budaya yang berkembang di
daerah tersebut. Secara
umum budaya Birokrasi di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia
mempunyai ciri-ciri sesuai dengan gambaran konsep “Birokrasi Sala” yang
digambarkan dengan adanya heterogenitas,
formalisme dan overlapping.
Heterogenitas,
ditandai dengan adanya fungsi administratif yang berdasarkan kekeluargaan tetap
dilanjutkan secara diam-diam. Dibentuk organisasi baru untuk menggantikan
organisasi atas dasar kekeluargaan. Dibentuk norma-norma, akan tetapi
norma-norma tersebut tidak dihiraukan. Dalam masyarakat tradisional di negara
berkembang termasuk Indonesia, keluarga merupakan landasan bagi pemerintahan
dan administrasi negara. Akibatnya jabatan-jabatan dalam pemerintahan diperuntukkan
bagi anggota keluarga. Hal ini berbeda dengan masyarakat yang lebih modern, jabatan
didasarkan pada rekruitmen formal, namun dalam manajemen kepegawaian banyak
keputusan yang dipengaruhi oleh kepentingan keluarga dan ikatan primordial.
Formalisme, ditandai dengan adanya tingkat
ketidaksesuaian antara apa yang tertulis dengan prakteknya. Seringkali
pelaksanaan peraturan jauh dari norma-norma yang tersurat dan tersirat.
Peraturan yang dibuat oleh orang modern, akan tetapi dalam prakteknya mengikuti
norma norma tradisional.
Overlapping, ditandai dengan adanya tumpang
tindih antara urusan keluarga dan kantor. Hal ini dapat terjadi karena
adanya pengaruh keluarga dalam pelaksanaan fungsi dinas sedemikian rupa
sehingga peraturan ahanya diterapkan secara tegas bagi pihak lain dan
secara longgar bagi keluarga atau sana famili.
Kenyataan
tersebut di atas merupakan hal yang tidak bisa di pungkiri di Indonesia. Budaya
paternalisme masih menjadi menjalar di lingkungan birokrasi kita saat ini baik
di lingkungan Pemerintah Pusat maupun Daerah. Hal ini tidak bisa dilepaskan
dari pengalaman masa lalu bangsa Indonesia dibawah penjajahan kolonial masa
itu.
Untuk mengefektifkan jalannya roda pemerintahan kolonial, Belanda mengangkat
merekrut pegawai yang berasal dari strata sosial atas dan kebanyakan berasal
dari kalangan keturunan bangsawan keraton (kaum priyayi atau ningrat).
Oleh karena itu birokrasi Indonesia baik yang terdapat di Jawa maupun
dihampir seluruh pemerintah daerah di Indonesia, sangat diwarnai oleh budaya tradisional keraton yang
masuk dalam sistem nilai dan budaya birokrasi saat ini.
Budaya keraton pada masa lalu masih
menjadi pusat kehidupan masyarakat. Nilai-nilai yang dianggap luhur dan
agung yang terdapat di lingkungan keraton masih diikuti oleh para
penganutnya, terutama yang berstrata rendah yang ada di luar lingkungan keraton.
Corak paternalistik birokrasi di Indonesia tersebut lebih mencerminkan hubungan
bapak dan anak (bapakisme) dan hal
tersebut dianggap lebih halus dibandingkan dengan hubungan patron klien.
Dalam
Hubungan bapakisme sangat menekankan
pada hubungan nonmaterial maupun material dibanding hubungan patron klien yang
lebih menuntut segi material. Hubungan yang muncul dalam bapakisme meliputi
aspek pemenuhan kebutuhan sosial, emosional, spiritual, maupun material,
sehingga seorang anak buah dalam suatu organisasi akan melakukan tugas
pekerjaan secara sukarela dan loyal terhadap perintah atasannya. Oleh
karena itu maka yang menjadi ukuran pengangkatan atau pemilihan pejabat atau
pegawai semata-mata hanya didasarkan loyalitas dan dukungannya, bukan
menggunakan merit system yang seharusnya diterapkan yaitu suatu pemilihan dan
pengangkatan pegawai atau pejabat yang didasarkan pada keahlian dan
kecakapannya. Dengan demikian birokrasi patrimonialisme jelas sangat rawan
terhadap penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, kolusi serta nepotisme (KKN).
Secara struktural dan kultural pengaruhnya sangat kuat.
Kondisi birokrasi seperti di atas
semakin parah ketika berasa di masa pemerintahan soeharto (masa orde baru). Pada
masa Soeharto, kondisi birokrasi semakin amburadur,
ketika Soeharto menginterpretasikan budaya Jawa untuk mempengaruhi masyarakat
demi mempertahankan kekuasaannya, seperti pepatah jawa “mikul duwul mendem jero” yang artinya selalu menyiarkan kebaikan
orang lain terutama kebaikan orang tua dan jika orang tua berbuat salah harus
ditutup-tutupi. Oleh Karena itu tidak mengherankan jika Birokrasi pada masa
orde baru hanya dijadikan sebagai alat politik penguasa.
Otonomi daerah yang dijalankan 13 tahun lalu, sejak dikeluarkannya
Undang-undang 22 Tahun 199 tentang Otonomi Daerah Sebagaimana diubah dengan
Undang –undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ternyata belum mampu
menjawab tuntutan masyarakat akan terwujudnya pemerintah daerah yang responsif
terhadap kebutuhan masyarakat. Padahal inti dari otonomi daerah sendiri adalah
peningkatan pelayanan umum. Dengan adanya pelimpahan kewenagan dari pusat
kepada daerah, diharapkan daerah mampu menjawab kebutuhan masyarakat tersebut,
karena Pemerintah daerah dianggap lebih tahu akan kebutuhan masyarakat
daerahnya.
Kumorotomo
dalam (dalam Dwiyanto, 2002) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan
pedoman dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publik, antara lain:
Efisiensi, efektivitas, keadilan, daya tanggap. Namun kenyataannya, organisasi
pemerintah daerah belum mampu memenuhi prinsip-prinsip pelayanan tersebut. Kita
masih banyak melihat pelayanan birokrasi kita masih sangat diskriminatif dan
memerlukan biaya tinggi. Hal ini
menunjukkan budaya birokrasi mpada masa sekarang tidak jauh beda dengan masa
orde baru, meskipun harus kita akui sudah ada perubahan di berbagai sektor.
B. Perubahan Budaya Organisasi Untuk Mendukung
Good Governance
Istilah “governance” sebenarnya
sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun,
sejak Woodrow Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 1125 tahun
yang lalu. Adapun Wacana tentang “governance” yang diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau
pengelolaan pemerintahan, baru muncul sekitar 15 tahun belakangan ini, terutama
setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional mempersyaratkan “good
governance” dalam berbagai program bantuannya. Oleh para teoritisi dan praktisi
administrasi negara Indonesia, term “good governance” telah diterjemahkan
menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo),
tatapemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan
bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai
pemerintahan yang bersih.
Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan
suatu bangsa dalam melaksanakan good governance, yakni: pemerintah (state),
civil society (masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan
masyarakat pengusaha. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung
jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan
administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang
sinerjik dan setara. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat
berkembang subur bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta
tata aturan yang jelas dan pasti, Good governance yang sehat juga akan
berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang
jelas (Sofian Efendi, 2005).
Seperti telah disebutkan di atas
salah satu penyebab kurang berhasilnya reformasi administrasi untuk mendukung
penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (good governance) karena Pemerintah tidak menaruh perhatian yang
serius terhadap perubahan budaya organisasi. Padahal budaya organisasi memiliki
pengaruh besar pada keberhasilan dan mati hidup sebuah organisasi. Karena
itulah tidak mengherankan jika di sektor privat, perusahaan bersedia
mengeluarkan dana yang amat besar untuk mengubah budaya perusahaan (corporate culture) agar selalu sesuai
dengan lingkungannya yang selalu berubah dengan cepat. Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa budaya organisasi adalah tradisi yang sangat sukar
diubah. Bahkan, pada organisasi baru, membangun budaya organisasi yang sesuai
dengan misinya lebih mudah untuk dilakukan daripada mengubah budaya ayng telah
ada.
Peter Bijur (2001) menganggap syarat
yang paling utama untuk menjamin keberhasilan upaya perubahan budaya organisasi
adalah kepemimpinan yang kuat (strong leadership) baik dalam kemampuan memimpin
maupun dalam ketajaman visinya. Hal ini
yang menjadi kendala kita selama ini di Indonesia. Terdapat 5 faktor penting
untuk mensukseskan perubahan budaya organisasi yaitu:
a.
Nilai-nilai yang mendukung pencapaian
visi yang telah ditetapkan;
b.
Motivasi yang mampu memobiliasi dukungan
untuk perubahan;
c.
Ide dan Strategi yang tepat untuk
menciptakan lingkungan yang mampu menyuburkan kebersamaan dalam perumusan ide-ide dan strategi untuk
mendorong perubahan;
d.
Tujuan yang jelas serta selalu
dikomunikasikan kepada para anggota organisasi;
e.
Etik kinerja yang ditumbuhkan dengan
sistem remunerasi dan penghargaan yang tepat.
Selain itu untuk mencapai budaya
yang berkinerja tinggi dan rasa percaya diri yang tinggi maka birokrasi baik
itu pusat maupun daerah perlu memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
a.
Rasa hormat (respect)
b.
Tanggung jawab (responsibility)
c.
Memberikan teladan
d. Hubungan
(relationship)
e.
Penghargaan dan hukuman (rewards dan punishment)
f.
Pengambilan risiko (risk taking)
PENUTUP
Organisasi yang ingin merubah
budayanya harus berani menempuh jalan yang tidak mudah, melalui turbulence atau bahkan chaos,
untuk mencapai penyesuaian dengan nilai-nilai, norma-norma, perilaku dan
simbol-simbol budaya baru. Birokrasi
sebagai sebuah organisasi publik harus disiapkan untuk selalu adaptif terhadap
perubahan-perubahan dan harus dapat menyesuaikan diri dengan dinamika
masyarakat.
Perubahan
budaya birokrasi adalah proses panjang dan mahal yang tidak ada jaminan sukses.
Menurut Sofian Effendi diperlukan waktu minimal 5 sampai 10 tahun untuk merubah
budaya organisasi dengan sekala seperti Republik Indonesia atau pemerintah
provinsi, kabupaten dan kota. Karena itu strategi yang diajurkan oleh para ahli
(Morgan, 1996 dan Toolpack, 2001) adalah perubahan secara bertahap dan gradual.
Memang kurang revolusioner, kurang radikal tetapi lebih aman. Untuk mendukung keberhasilan perubhan budaya
birokrasi yang lebih adaptif dan responsive terhadpatuntutan msyarakat
diperlukn poltical will atau komitmen
dari pemimpin baik itu tingkat pusat, daerah maupun organisasi yang lebih kecil
di lingkungannya. Tanpa komitmen tersebut sangat mustahil birokrasi di
Indonesia khususnya di Lingkungan Pemerintah Daerah akan semakin profesional.
Daftar Pustaka
Undang –undang 22 Tahun 1999
tentang Otonomi Daerah
Undang –undang 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
Kajian Lembaga Administrasi Negara, 2011, Penataan
Pola Hubungan jabatan Politik dan Jabatan Karir
Manajemen
Pegawai Negeri Sipil, 2001, Badan Kepegawaian Negara Jakarta
Membangun Budaya Birokrasi
Untuk Good Governance. Sofian Effendi .Lokakarya
Nasional Reformasi Birokrasi Diselenggarakan Kantor Menteri Negara PAN. 22
September 2005.
http://hendra4ever.blog.fisip.uns.ac.id/2011/02/11/budaya-birokrasi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar