Total Tayangan Halaman

Kamis, 07 Juni 2012

PENGUATAN KAPASITAS PEMERINTAH DESA SEBAGAI PRASYARAT UTAMA KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA

PENGUATAN KAPASITAS PEMERINTAH DESA SEBAGAI PRASYARAT UTAMA KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DESA
Oleh : Agus Srihono (Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Publik Undip)

Abstract

Reformasi merupakan awal bagi pelaksanaan pembangunan yang lebih demokratis. Pembangunan sendiri harus ditujukan pada peningkatan kesejahteraan dan pendewasan masyarakat. Oleh Karena itu pembangunan harus menyentuh hingga lapisan masyarakat bawah yang ada di pedesaan. Kondisi ini hanya dapat diwujudkan jika pembangunan tersebut melibatkan masyarakat bukan hanya sebagai objek tetapi juga sebagai subjek. Untuk itu peningkatan kapasitas pemerintah desa mutlak dilakukan, sebab pemerintah desa memiliki peran yang strategis dan sebagai kunci keberhasilan pembangunan di tingkat desa. Peningkatan kapasitas pemerintah desa ini perlu dilakukan untuk mengimbangi dinamika dan perkembangan masyarakat yang ada di tingkat pedesaan. Tanpa ada upaya tersebut mustahil pembangunan akan berhasil mengingat keterbatasan sumber daya yang ada di tingkat desa khususnya kemampuan aparatur pemerintah desa.

Kunci: pembangunan, kapasitas, pemerintah, desa 

Pendahuluan

Desa merupakan ujung tombak pemerintahan di Indonesia. Sebagai miniatur republik, kondisi desa merupakan cerminan dari pada kondisi Indonesia. Berhasil tidaknya pembangunan yang ada di Indonesia tidak terlepas dari pembangunan yang ada di tingkat desa, mengingat jumlah desa yang ada di Indonesia saat ini cukup besar. Data dari Kementerian Dalam Negeri (2007) menyebutkan bahwa jumlah desa yang ada di Indonesia mencapai 69.926 desa. Karena Jumlah yang begitu besar seharusnya desa mendapat perlakuan “khusus” dengan diterbitkannya Peraturan Perundang-undangan dalam bentuk Undang-undang sendiri, tidak hanya sekedar Peraturan Pemerintah seperti sekarang yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 yang merupakan turunan dari undang undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU 32 Tahun 2004 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005, Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian tersebut mengandung makna bahwa desa merupakan organisasi pemerintahan yang berhak untuk mengatur warga dan komunitasnya, baik sebagai akibat posisi politiknya yang merupakan bagian dari negara ataupun berdasarkan asal usul istiadat yang dimikinya (Sadu: 2005). Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Dearah jo. Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 secara teoritis telah membuka peluang bagi kemandirian desa dalam melakukan pembangunan dan mengatur pemerintahannya sendiri. Namun pada kenyataan di lapangan, desa masih belum mampu melakukan pembangunan dengan baik di wilayahnya. Terbukti kondisi desa dari dulu hingga sekarang tidak terdapat perubahan yang cukup signifikan. Berbagai kendala dialami oleh desa dalam melakukan pembangunan, antara lain keterbatasan kapasitas sumber daya manusia dan keuangan yang dimiliki oleh desa. Desa masih sangat tergantung dari bantuan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam mengurusi segala permasalahan yang ada di wilayahnya. Pemerintah desa sebagai pionir dalam melaksanakan pembangunan di tingkat desa belum mampu melakukan fungsi dan perannya dengan baik. Kapasitas Sumber daya aparatur pemerintah desa yang masih jauh dari ideal disinyalir menjadi kendala tersendiri bagi pelaksanaan pembangunan di pedesaan.

Pembahasan 

A. Pembangunan di Tingkat Desa: Antara Realita dan Harapan 

Pelaksanaan pembangunan di tingkat desa sampai saat ini masih jauh dari harapan. Padahal kita semua tahu bahwa wilayah Indonesia yang begitu luas sebagian besar terdiri dari desa-desa yang tersebar dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Schumacher (dalam Sadu: 2005) telah mengingatkan bahwa persoalan yang dihadapi negara-negara berkembang terletak pada dua juta desa yang miskin dan terbelakang. Data Kementerian Dalam Negeri (2011) menunjukkan bahwa dari sekitar 234,2 juta penduduk Indonesia, 14,15 % adalah penduduk miskin, dan mereka umumnya tinggal di perdesaan. Berbagai program pembangunan baik tingkat nasional maupun daerah yang berbentuk fisik dan non fisik digulirkan ke tingkat desa sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas dan kesejahteraan masyarakat seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandisi Pedesaan (PNPM-MD), Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP), Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan lainnya. Meminjam isitlah Sutoro Eko, desa sekarang menjadi pasar berbagai program pembangunan. Kita patut mengapresiasi berbagai upaya pemerintah tersebut, meskipun pada kenyataannya program-program tersebut belum mampu menjawab semua permalahan yang ada di desa. Setidaknya ada lima kendala yang menjadi permasalahan dalam pembangunan desa di Indonesia. Pertama, Lemahnya kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di desa. Kemampuan SDM yang masih rendah di tingkat desa termasuk kemampuan aparatur pemerintah desa menjadi kendala untama dalam mewujudkan keberhasilan pembangunan di tingkat desa. Kita masih melihat banyak sekali aparatur pemerintah desa yang dari segi pendidikan formal masih tergolong rendah seperti lulusan SMP dan SMA , bahkan di beberapa daerah masih ada yang hanya lulusan Sekolah Dasar. Disisi lain masyarakat desa yang sudah mengenyam pendidikan tinggi enggan untuk kembali ke desanya, mereka lebih memilih untuk mencari nafkah dan tertantang hidup di kota. Kedua, Minimnya Keuangan yang dimilki Desa. Keuangan menjadi faktor penting dalam pembangunan dan kegiatan pemerintahan. Sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa autonomi identik dengan automoney, maka untuk dapat melakukan pembangunan, desa juga memerlukan dana yang memadai. Keberhasilan pembangunan desa di Indonesia hanya akan menjadi retorika belaka tanpa dukungan keuangan yang memadai. Apalagi selama ini desa tidak memiliki kekuasaan dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada di desanya, dan pengelolaaan pajak yang telah dibayarkan warga (Santoso Purwo: 2005). Secara teoritis Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo PP 72 Tahun 2005 tentang Desa memang telah membuka peluang bagi desa untuk menggali potensi keuangannya. Namun kenyataannya sampai saat ini sedikit sekali desa yang mampu berinovatif untuk meningkatkan kemampuan keuangannya untuk menunjang kegiatan pembangunan. Pembangunan desa masih sangat tegantung pada ”kebaikan hati” pemerintah baik pusat maupun daerah dalam melaksanakan pembangunan di wilayahnya. Alokasi Dana Desa (ADD) seperti yang diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo PP 72 Tahun 2005 yang diharapkan mendorong pembangunan di tingkat desa belum mampu menjadi solusi jitu untuk menangani masalah keuangan tersebut. Bahkan diberbagai daerah seringkali dana bantuan dari pemerintah supradesa menjadi ”bancaan” bagi para petinggi desa. Ketiga, lemahnya sistem perencanaan di tingkat desa. Perencanaan merupakan faktor penting dalam sebuah pembangunan. Tanpa adanya perencanaan yang komprehensif dan terarah maka hampir dipastikan pembangunan yang dilakukan akan mengalami kegagalan. Untuk mewujudkan pembangunan di tingkat desa dengan baik maka setiap perencanaan yang nantinya akan mengambil keputusan yang menyangkut masyarakat desa, maka harus juga melibatkan masyarakat desa tersebut dalam perencanaan. Undang - Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya klausul tentang perencanaan daerah telah mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan tersebut. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, salah satu tahapan perencanaan dan penganggaran di semua level pemerintahan harus dilakukan dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Namun dalam kenyataannya Musrenbang yang dilakukan di tiap tingkatan pemerintahan masih terkesan hanya formalitas belaka. Tidak ada hasil yang bisa diharapkan masyarakat akan pembangunan di desanya. Usulan-usulan yang disampaikan oleh masyarakat desa melalui forum musrenbang sedikit sekali yang diakomodir oleh tataran SKPD di lingkungan Pemerintah Daerah. Karena itu kedepan harus dibuat aturan bahwa apa yang mejadi usulan dari masyarakat, maka pada tataran Pemerintah Daerah atau Pusat harus mengakomodir kegiatan yang disulkan oleh masyarakat tersebut. Persoalan lain yang dihadapi berkaitan dengan perencanan ini adalah dominasi elite kekuasaaan desa terhadap sistem perencanaan di tingkat desa. Peran Kepala Desa sangat sentral dalam perencanaan di tingkat Desa. Kempat, lemahnya koordinasi antar struktur Pemerintahan. Koordinasi merupakan hal yang penting dalam pencapaian sebuah tujuan pembangunan. Tanpa ada koordinasi antar struktur pemerintahan mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga pusat maka yang terjadi adalah perbedaan antara realita pembangunan dengan harapan yang ada di masyarakat. Sekarang ini banyak sekali program pembangunan yang diarahkan ke tingkat desa yang sebenarnya memiliki tujuan yang bagus, namun dalam kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan hasil yang telah ditetapkan. Hal ini dikarenakan program-program tersebut masih belum terkoordinasi dengan baik. Karena itu kedepan koordinasi antara struktur pemerintahan lebih ditingkatkan. Selain itu program - program pembangunan yang dilaksanakan di tingkat desa harus terintegrasi dari tingkat desa hingga tingkat pusat. Kelima, Lemahya pengawasan. Pengawasan menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan. Tanpa ada pengawasan yang optimal seringkali berbagai program pembangunan megalami penyimpangan dalam pelaksanaanya. Belum luput dari ingatan kita, berbagai proyek pembangunan seringkali mengalami penyimpangan di lapangan. Sebagai misal, pemotongan bantuan sosial dan infrastruktur pedesaan di Jawa Tengah yang dilakukan oleh oknum tertentu, penggunaan dana desa oleh oknum Kepala Desa maupun perangkat desa dan masih banyak penyimpangan lainnya. Diakui atau tidak, berbagai penyimpangan tersebut masih berjalan hingga sekarang dan terkesan adanya pembiaran dari pemerintah. Berbagai permasalahan tersebut merupakan hal yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya yang perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah pusat maupun daerah. Perlu dipikirkan berbagai formulasi kebijakan yang terintegrasi sehingga dapat mendorong keberhasilan pelaksanaan pembangunan di tingkat desa. Sebab apabila hal ini terus dibiarkan bukan tidak mungkin pembangunan di tingkat desa hanya sebatas teori. Rakyat desa akan terus merasakan kesenjangan yang semakin tajam antara pembangunan di desanya dengan pembangunan di kota.

B. Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa Sebagai Syarat Keberhasilan Pembangunan

Johnston dan Clark (dalam Sadu: 2005) mengatakan adanya tiga daerah lingkup kegagalan dalam program pembangunan desa. Salah satunya adalah kegagalan menciptakan organisasi yang tepat guna untuk memecahkan masalah pada tingkat lokal. Senada dengan pendapat tersebut maka untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan di tingkat desa dibutuhkan organisasi pemerintahan desa yang “kuat”. Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 200 ayat (1) yang dimaksud dengan pemerintahan desa adalah pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam konteks desa, Pemerintah Desa memegang peran yang sangat penting demi terciptanya tata pemerintahan yang baik di desa. Pemerintah Desa sebagai eksekutif berfungsi menjalankan fungsi pemerintahan, pembangunan dan menciptakan kehidupan kemasyarakatan yang kondusif di desa. Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara dan sekaligus sebagai pemimpin lokal yang memiliki posisi dan peran yang signifikan dalam membangun dan mengelola pemerintahan desa. Pemerintah desa mengemban tugas utama dalam hal menciptakan kehidupan yang demokratis, mendorong pemberdayaan masyarakat serta memberikan pelayanan publik yang baik. Bagan 1. Organisasi Pemerintahan Desa menurut UU No. 32/2004 Kepala Desa BPD Menurut PP 72 tahun 2005 disebutkan bahwa Pemerintahan Desa berhak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, pemerintahan desa saat ini lebih tepat untuk disebut pemerintahan semu (bayangan). Hal ini dikarenakan keterbatasan dan ketidakmampuan yang dihadapi oleh pemerintah desa dalam melakukan peran dan fungsinya. Menurut Sadu (2005) ada 3 alasan yang melatarbelakangi hal itu. Pertama, desa tidak memiliki kewenangan menarik pajak dan retribusi. Kedua, aparat (perangkat desa) bukan pegawai negeri. Ketiga, aparat desa tidak digaji oleh negara layaknya pegawai negeri. Ketidakberdayaan pemerintah desa seperti tersebut di atas menjadi salah satu penyebab utama kegagalan pembangunan di tingkat desa. Oleh karena itu perlu dilakukan penguatan kapasitas pemerintah desa, agar mereka mampu dan berdaya untuk melaksanakan fungsi pemerintahan dan pembangunan di tingkat desa dengan baik. Sebagai pioinir jalannya pemerintahan di tingkat desa, maka peningkatan kapasitas aparatur pemerintah desa menjadi hal yang mutlak dilakukan. Menurut Anelli Milen (dalam IRE: 2005) yang dimaksud dengan Pengembangan atau Penguatan kapasitas adalah sebuah proses berkelanjutan dimana individu, kelompok, organisasi dan masyarakat meningkatkan kemampunannya untuk: (1) menjalankan fungsi pokok menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan, (2) memahami dan menghubungkan kebutuhan pengembangan mereka dalam konteks yang lebih luas dengan cara berkelanjutan.. Dengan kata lain peningkatan Kapasitas dapat diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan standar kemampuan atau diusahakan peningkatan kemampuan karena belum memenuhi standart yang telah ditetapkan. Oleh karena itu Penguatan kapasitas atau sering disebut dengan capacity building tidak boleh hanya diartikan dalam makna sempit seperti pendidikan, pelatihan, penataran, penyuluhan atau sosialisasi. Terdapat beberapa bentuk penguatan yang harus dilakukan terhadap pemerintah desa (IRE:2005): pertama, kapasitas regulasi (mengatur) yaitu kemampuan pemerintah desa mengatur kehidupan desa beserta isinya (wilayah, kekayaan, dan penduduk) dengan peraturan desa berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Kedua, kapasitas ekstraksi yaitu kemampuan untuk mengumpulkan, mengerahkan dan mengoptimalkan aset - aset yang dimiliki desa meliputi aset fisik, aset alam, aset manusia, aset sosial, aset keuangan dan aset politik. Termasuk kemampuan ekstraksi adalah kemapuan pemimpin terutama Kepala Desa melakukan konsolidasi terhadap berbagai aktor baik BPD maupun lembaga desa, tokoh masyarakat dan warga msayarakat. Ketiga, kapasitas distributif yaitu kemampuan pemerintah desa membagi sumber daya secara seimbang dan merata sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Keempat, kapasitas responsif yaitu kemampuan untuk peka atau memiliki daya tanggap terhadap aspirasi atau kebutuhan warga masyarakat untuk dijadikan sebagai basis dalam perencanaan kebijakan pembangunan desa. Kelima, kapasitas jaringan dan kerjasama yaitu kemampuan pemerintah desa mengembangjkan jaringan kerjasama dengan pihak pihak luar dalam rangka mendukung kapasitas ekstraktif. Kelima kemampuan tersebut harus dikembangkan secara sistemik baik secara individual maupun institusional agar pemerntah desa mampu menjalankan fungsinya secara optimal. Karenanya dibutuhkan komitmen dari pemerintah diatasnya untuk mau melakukan berbagai penguatan tersebut. Dengan penguatan kapasitas pemerintah desa tidak hanya dari segi teori tapi juga dalam pelaksanaannya maka pemerintah desa akan semakin mampu untuk menjalankan fungsinya dalam melaksanakan pembangunan di wilayahnya.

Penutup 

Kondisi desa sampai sekarang tidak ada perubahan yang cukup berarti. Kita masih menyaksikan sebuah realita bahwa banyak desa di Indonesia khususnya di luar jawa yang belum tersentuh oleh pembangunan. Disisi lain pembangunan di tingkat kota terus berkembang. Akibatnya terdapat kesenjangan pembangunan yang semakin timpang antara desa dengan kota. Diperlukan adanya upaya yang sistemik dan terintegrasi guna mempercepat pembangunan yang ada di tingkat desa. Berbagai permasalahan yang menghambat pembangunan di tingkat desa perlu mendapat penyelesaian segera. Penguatan kapasitas pemerintah desa agar mampu menjalankan fungsinya melakukan tugas pemerintahan pada umumnya, dan melaksanakan pembangunan pada khususnya mutlak segera dilakukan sesuai dengan dinamika masyarakat yang ada. Pemerintah desa yang diberi kepercayaan warganya, saat ini tidak memilki cukup kewenangan untuk memenuhi harapan warganya. Oleh karena itu ketidakberdayaan pemerintah desa seperti yang terjadi sekarang harus segera diakhiri. Disini jelas dibutuhkan kemauan dari pemerintah pusat maupun daerah untuk mau melakukan hal tersebut. Tanpa adanya kemauan pemerintah bukan tidak mungkin konsidi desa akan tetap seperti sekarang tanpa ada batasan waktu yang pasti.

Daftar Pustaka

Wasistiono Sadu; Tahir Irwan. Prospek Pengemnbangan Desa. Bandung. 2006 
Santoso Purwo, ed. Pembaharuan Desa Secara Partsipatif. Yogyakarta. 2005 
Institute for Research and Empowerment. Prakarsa Desentralisasi & Otonomi Desa. Yogyakarta. IRE Press. 2005. 
Jurnal “Pembaharuan Pemerintahan Desa” .Yogyakarta. IRE Press. 2003
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
 www.kemendagri.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar